Novel Populer: TeenLit, Chicklit dan Metropop


Novel populer merupakan salah satu karya sastra populer. Sastra populer tidak terlepas kaitannya dengan kebudayaan populer.

(Kemunculan kebudayaan populer dikaitkan dengan Revolusi Industri di Eropa. Dengan dilatarbelakangi trauma anarki akibat Revolusi Prancis ketika massa menjadi begitu dominan, kebudayaan populer muncul sebagai alternatif lain dari bentuk reproduksi massal [Mahayana, 2005: 320]. Karena itu, massa menjadi penting bagi keberlangsungan kebudayaan tersebut, sehingga kebudayaan populer juga disebut dengan kebudayaan massa.)

Jadi, novel populer, sebagai hasil karya sastra populer, perkembangannya dipengaruhi oleh massa. Dalam hal ini, massa tersebut adalah pembaca. Pembaca menjadi hal yang penting bagi perkembangan novel populer, karena itulah yang menjadi salah satu sifat sastra populer, yaitu komersial. Penerbit yang menghasilkan karya sastra populer mementingkan nilai komersial. Tujuan dari karya sastra itu sendiri adalah menghibur. Ini pula yang membuat novel populer disebut sebagai novel hiburan.

Tujuan novel populer tentu berbeda dengan tujuan novel sastra. Novel sastra lebih cenderung membuat pembacanya berpikir, karena tema yang diangkat novel sastra biasanya lebih “berat” dibanding novel populer yang lebih sering mengangkat tema “ringan”. Novel sastra biasa mengangkat tema kehidupan, tetapi digambarkan secara abstrak, atau dengan kata lain, membuat pembaca harus berpikir keras maksud dari si pengarang. Sementara novel populer lebih banyak bertemakan percintaan [Sumardjo, 1995: 18].

Tahun 1970-an, novel populer dengan tema percintaan banyak ditulis perempuan, seperti Marga T., La Rose, Iskasiah Sumarto, Sri Bekti Subakir, Yati Maryati Wijarja, Toti Totilawati, dan NH Dini. Namun, ada pula laki-laki yang menulis novel dengan tema percintaan, seperti Ashadi Siregar. Pada masa itu, Ashadi Siregar dikenal sama populernya dengan perempuan pengarang yang menulis novel dengan tema cinta asmara [Sumardjo, 1995: 142].

Selain tema, ciri lain yang membedakan novel populer dengan novel sastra adalah penggunaan bahasa. Bahasa yang sering digunakan dalam novel populer adalah bahasa yang aktual. Gaya berbicara, atau pun kata-kata yang sedang nge-tren di masanya sering kali digunakan oleh pengarang novel populer.

Novel populer juga berperan sebagai dokumen sosial dari kebaruan yang diperlihatkan di dalamnya. Hal-hal yang baru muncul dan menjadi sesuatu yang sedang populer di masyarakat, itulah yang dimaksud dengan kebaruan. Misalnya saja saat handphone baru pertama kali tercipta. Dari pager yang biasa digunakan masyarakat, hp menjadi hal baru yang “wah” saat diangkat dalam novel. Melalui hal tersebut, novel populer dapat menunjukkan perkembangan yang sedang terjadi di masyarakat, dari teknologi, tempat umum, hingga pemakaian bahasa. Karena itulah, secara tidak langsung, novel populer dapat menjadi dokumen sosial.

TeenLit, Chicklit, & Metropop

Novel populer dibagi sesuai dengan temanya. Ada novel percintaan, novel detektif, novel petualangan, novel misteri, dan sebagainya.

Dari novel percintaan, tema dibagi lagi yang disesuaikan dengan pembacanya. Ada novel teenlit dan novel chicklit. Novel seperti ini sudah diterbitkan sejak dulu, hanya saja istilah “teenlit” dan “chicklit” baru muncul di tahun 2000 dan pertengahan 1990-an.

Istilah teenlit mulai dikenal sejak kemunculan novel Princess Diaries karya Meg Cabot, tahun 2000. Sementara chicklit, yang lebih dulu muncul, diawali dari novel White Teeth karya Zadie Smith. Tapi, novel Bridget Jones Diary-lah yang lebih dikenal sebagai pelopor subgenre tersebut. Mungkin karena Bridget Jones Diary lebih dikenal banyak orang, apalagi saat novel tersebut difilmkan dengan judul yang sama pada tahun 2001.

Meski sama-sama berkisah mengenai kehidupan perempuan, chicklit dan teenlit memiliki perbedaan yang tampak jelas. Chicklit, bila dilihat dari asal katanya, merupakan subgenre yang mengisahkan perempuan dewasa. ‘Chick’ berarti sosok wanita muda protagonis yang mandiri, umumnya masih lajang, gaya hidup kosmopolit, mengalami pelbagai problematik percintaan, sedang mendambakan “The One” atau “Mr. Right” alias kekasih pujaan [Anggoro, 2004: 85]. Sementara teenlit, terlihat dari asal katanya, yang merupakan kependekan dari ‘teen’ yang berarti remaja dan ‘lit’. ‘Lit’ merupakan kependekan dari literature. ‘Lit’ di sini merujuk pada arti ‘bacaan’, bukan sebutan ‘sastra’ pada umumnya.

Dari sini langsung terlihat perbedaan. Chicklit berkisah mengenai perempuan dewasa (dan biasanya perempuan karier yang sukses) yang hidup di kota metropolitan, sedangkan teenlit berkisah mengenai perempuan remaja yang masih “akrab” dengan dunia sekolah.

Keduanya sama-sama berkisah mengenai percintaan. Tapi, chicklit bercerita tentang percintaan si tokoh utama dengan kekasihnya (atau laki-laki yang diharapkan menjadi kekasihnya), sedangkan percintaan dalam teenlit tidak hanya seputar percintaan antara perempuan dan laki-laki, tapi juga antara keluarga, sahabat, dan orang di sekitarnya.

Masalah dalam chicklit biasanya seputar problematika percintaan dan karier si tokoh utama. Sedangkan teenlit, walaupun mengangkat masalah percintaan si tokoh utama, tidak selalu mengangkat masalah percintaan. Seperti remaja umumnya, masalah cita-cita (ke pendidikan yang lebih tinggi setelah SMP atau SMA), kenakalan masa remaja, hubungan persahabatan masa sekolah, hingga masalah keluarga yang mempengaruhi kehidupannya di sekolah, juga menjadi masalah yang dapat ditemui dalam teenlit.

Nah, sekarang sudah tampak jelas bukan perbedaan antara novel teenlit dan chicklit? Lalu saatnya kita bahas subgenre novel populer baru yang tampak asing dan belum banyak dikenal sebelumnya, yaitu metropop.

Metropop ini diciptakan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama (GPU). Apabila Anda melihat cover depan yang dipenuhi dengan gambar “khas” novel populer (oh ya, cover atau sampul juga menjadi salah satu ciri novel populer. Warna-warna cerah biasa menjadi pilihan warna cover novel populer), dan (pastinya) terbitan GPU, coba lihatlah cover belakangnya, kalau ada label metropop di kanan atas, berarti Anda telah menemukan novel metropop.

Kemunculan novel metropop ternyata tidak lepas dari pengaruh chicklit dan teenlit. GPU ingin menciptakan tren baru. Novel teenlit dan chicklit karya luar yang diterjemahkan dan dijadikan sebagai awal tren novel populer oleh GPU. Chicklit lebih dulu diterjemahkan dan dijadikan tren novel populer oleh GPU, sedangkan teenlit diterjemahkan sekaligus dijadikan tren kedua. Melihat kepopuleran chicklit, khususnya Bridget Jones Diary, GPU pun memutuskan mencari karya-karya yang isinya juga bercerita tentang kehidupan metropolitan, tapi ditulis oleh pengarang lokal. Kebetulan ada naskah yang sesuai dengan yang diinginkan GPU untuk dijadikan sebagai novel metropop, akhirnya GPU pun menerbitkan novel itu. Novel yang menjadi metropop pertama itu adalah novel Jodoh Monica karya Alberthiene Endah.

Ada kriteria yang kemudian diciptakan GPU dalam novel metropop. Kriteria ini ditunjukkan saat diadakan sayembara penulisan novel metropop pada tahun 2005. Tapi, kemudian kriteria inilah yang membangun bagaimana isi novel metropop itu terbentuk. Dalam novel metropop, tema cerita tidak ditentukan, tetapi Gramedia mengharuskan tema cerita berkaitan dengan kehidupan metropolitan. Gramedia menyebutkan bahwa tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel-novel Metropop merupakan tokoh yang dekat dengan kehidupan masyarakat urban Indonesia karena penulisan novel Metropop dilakukan oleh pengarang Indonesia. Perkotaan adalah latar fisik yang terdapat dalam novel metropop. Latar sosial yang digambarkan dalam novel-novel metropop yaitu mencakup gaya hidup masyarakat urban Indonesia, khususnya orang-orang dewasa muda, dan bahasa sehari-hari yang ditulis dengan ringan dan santai.

Novel metropop dikategorikan sebagai novel-novel dewasa oleh Gramedia. Gramedia-pun menjelaskan bahwa karya-karya Metropop dapat dibaca oleh siapa pun, baik perempuan maupun laki-laki dewasa. Selain itu, Gramedia juga menyebutkan bahwa metropop ditujukan untuk pembaca Indonesia karena tokoh-tokoh di novel ini dekat dengan kehidupan masyarakat urban Indonesia.

Begitulah kriteria yang dikeluarkan oleh GPU. Tapi, tidak menutup kemungkinan bahwa novel itu akan mengalami perkembangan. Misalnya, latar tidak disebutkan harus selalu di Indonesia atau di luar negeri, tapi beberapa pengarang novel metropop menjadikan luar negeri sebagai latar cerita mereka.

Sekilas, novel metropop ini memang sama dengan novel populer lainnya. Tapi, yang paling mencolok jika Anda sudah membacanya adalah kesamaannya dengan struktur bercerita ala chicklit. Memang tidak semua novel metropop “berwajah” seperti chicklit. Tapi unsur-unsur seperti tokoh perempuan yang memiliki karier sukses dan hidup mandiri serupa dengan yang biasa diceritakan dalam novel chicklit. Namun, tokoh utama dalam metropop tidak selalu hanya perempuan. Beberapa novel menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai tokoh utama, sedangkan tokoh utama dalam chicklit selalu (dan pasti) perempuan.

Secara garis besar, novel metropop adalah “wajah” lama chicklit yang dibalut kebaruan sehingga menjadi subgenre novel populer. Novel metropop layaknya novel chicklit yang ditulis oleh pengarang lokal, hanya saja masih terdapat kemungkinan yang nantinya seutuhnya berbeda dengan chicklit.


Rujukan:
Mahayana, Maman S. 2005. Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening Publishing.
Sumardjo, Jakob. 1995. Sastra dan Massa. Bandung: Penerbit ITB.
Anggoro, Donny. 2004. “ChickLit: Buku Laris Penulis Manis,” dalam Sastra yang Malas: Obrolan Sepintas Lalu. Solo: Tiga Serangkai.
[FAST DOWNLOAD]

Postingan terkait: